Saturday, December 24, 2016

Sejarah ejaan tempo dulu hingga menjadi ejaan yang disempurnakan

Pada 28 Oktober 1928, beberapa perwakilan pemuda di Nusantara yang berkumpul dalam Kongres Pemuda Kedua untuk mencetuskan ikrar Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak bersejarah dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ikrar ini menegaskan cita-cita akan "Tanah air Indonesia", "Bangsa Indonesia", dan "Bahasa Indonesia" yang akhirnya baru terwujud 17 tahun kemudian pada 17-08-45.
Setelah 87 tahun berselang, cita-cita ikrar tersebut telah menjadi identitas tak terbantahkan untuk negara yang telah merdeka selama 70 tahun ini. Kita sebagai bangsa Indonesia memiliki tumpah darah satu, yaitu tanah air Indonesia, dan berbahasa pemersatu, yaitu bahasa Indonesia.

Akan tetapi, ada suatu hal yang mungkin bikin penasaran, kenapa kok ejaan bahasa yang dituangkan pada Sumpah Pemuda 87 tahun yang lalu bebeda dengan ejaan yang kita gunakan sehari-hari sekarang? Sebagian dari kita mungkin dengan gampangnya berpikir bahwa bahasa Indonesia yang kita gunakan sekarang pertama kali disahkan pada momentum Sumpah Pemuda tersebut, tapi sekarang malah beda ejaannya. Apakah benar demikian? Dari mana sih asalnya ejaan yang tertuang di zaman Sumpah Pemuda? Bagaimana pula ceritanya bahasa persatuan kita bisa bertransformasi dari edjaan tempoe doeloe menjadi ejaan yang disempurnakan (EyD) yang dipakai dalam kehidupan Indonesia modern?

Siapa yang menyangka, ejaan sebagai bagian dari bahasa, ternyata bisa dijadikan alat politik untuk mengendalikan suatu kelompok masyarakat? Ya, ternyata penetapan standar ejaan yang mungkin terlihat sepele terkait erat dengan usaha sekelompok penguasa untuk melenggangkan pengaruhnya sehingga kadang menuai pro dan kontra. Siapa saja penguasa-penguasa di Indonesia yang turut andil dalam ejaan bahasa kita sehari-hari?
Baiklah, langsung saja kita masuk ke mesin waktu bahasa Indonesia.
 
ejaan

Pengenalan Ejaan

Salah satu sifat bahasa adalah berubah. Perubahan itu bisa karena pemakainya, baik karena kesepakatan atau keterbiasaan, bisa juga atas kemauan pemerintah, atau kebutuhan lainnnya. Salah satu yang bisa berubah dari bahasa adalah ejaan. Apa sih ejaan itu?
Ejaan merupakan kata turunan dari eja yang ditambahkan imbuhan –an. Kalau kita cek di Tesaurus Bahasa Indonesia, bikinan Eko Endarmoko, ejaan juga berarti pelafalan, pelafazan, pengucapan, penyuaraan, atau penyebutan suatu huruf atau kata.
Ya, intinya ejaan adalah bagaimana sih kita mengucapkan (secara lisan) sebuah kata. Ejaan sendiri diatur dalam kaidah berbahasa baku, termasuk di dalam bahasa Indonesia. Jadi, ejaan tidak hanya diatur dari segi cara pengucapan tapi juga cara menulis dan penggunaan tanda baca.

Asal Mula Ejaan Bahasa Indonesia Mengalami Standardisasi

Sebelum mempunyai tata bahasa baku dan resmi menggunakan aksara latin, bahasa Melayu (sebagai cikal-bakal Bahasa Indonesia) ditulis menggunakan aksara Jawi (arab gundul) selama beratus-ratus tahun lamanya. Lalu, sejak bangsa Eropa datang dan nangkring di Nusantara, barulah kita mengenal aksara latin. Ejaan latin yang dipakai untuk bahasa Melayu pun sudah berubah berkali-kali sesuai dengan kebijakan para penulis buku pada waktu itu. Ternyata Nusantara yang diduduki Belanda punya gaya ejaan yang berbeda dengan Semenanjung Melaya yang notabene dikolonisasi Inggris.
Hal ini pastinya bikin ruwet, bahasa sama tapi kaidah ejaan latin beda. Eh, ditambah dengan aksara Jawi yang asing di mata bangsa Eropa. Untuk mengatasinya, tahun 1897, seorang linguis Londo (sebutan orang Belanda) kelahiran Batavia, yang bernama A.A. Fokker mengusulkan agar ada penyeragaman ejaan di antara dua wilayah ini. Hingga akhirnya, van Ophuijsen (sistem orthografi) membakukan segalanya tentang Bahasa Melayu.

Prinsip-prinsip yang Mendasari Perubahan Ejaan dalam Bahasa Indonesia

Ejaan dalam konteks Bahasa Indonesia sendiri mengalami perubahan beberapa kali sejak seratus tahun ini. Motif yang mendasari perubahan ejaan itu umumnya karena alasan politik. Tapi, sebelum kita masuk ke cerita pengaruh-pengaruh politik apa saja yang memotori perubahan tersebut, ada baiknya kita perlu tahu dulu nih prinsip aja sih yang biasanya digunakan para ahli bahasa dalam melakukan perubahan ejaan. Prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

1. Prinsip kehematan (efisiensi)

Bayangkan, kalau elo disuruh menulis kalimat ini menggunakan ejaan jadul (zaman doele): saya selalu galau jika memikirkannya. Jadinya seperti ini: saja selaloe galaoe djika memiirkannja. Lebih efisien kalau kita pakai ejaan yang sekarang, kan? Lagipula, ada beda antara pengucapan dan penulisan.

2. Prinsip keluwesan

Keluwesan berarti kemampuan adaptasi terhadap perkembangan zaman. Pada contoh yang gue sebutin sebelumnya, keliatan kan, dengan ejaan zaman sekarang, kita lebih luwes menulis dan mengucapkannya.
 “Kalau begitu, huruf x bisa mewakili partikel –nya seperti yang digunakan bahasa alay akhir-akhir ini, dong?”- anak muda masa kini
meme-from-iphonetextgenerator
Ya, masuk akal. Tapi tidak bisa masuk ke dalam konteks bahasa baku kita. Kenapa tidak bisa? Coba bayangkan, nama tokoh kartun X-men atau merk fotokopi Xerox dibaca menjadi nya-emen atau nya-ero-nya. Jadi enggak universal, kan??

3. Prinsip kepraktisan

diakritik  Prinsip kepraktisan ini terkait dengan penggunaan tanda diakritis. Apa tuh tanda diakritis? Itu lho, tanda di atas huruf yang biasanya dipake di negara-negara yang masih berbahasa tonal, kayak Mandarin, Jerman, Ceko, Vietnam, Islandia, atau Spanyol. Tanda diakritis tetap dipertahankan di negara-negara tersebut karena adanya perbedaan makna yang dikandung. Dulu, bahasa kita sempat menggunakan penanda diakritis lho, tetapi dihapuskan dengan alasan kepraktisan.



Nah, pada postingan selanjutnya, kita akan lihat perjalanan ejaan dalam Bahasa Indonesia sejak bahasa Melayu dibakukan. Lalu, setelah berselang tiga puluh enam tahun, berganti (meskipun tidak banyak namun cukup signifikan) menjadi ejaan Republik, sebagai penanda Indonesia tidak lagi dibayang-bayangi Belanda (1947). Berikutnya, terdapat tiga ejaan yang kurang beken yang menjadi tahapan hingga ke Ejaan yang Disempurnakan (EyD), yaitu ejaan Pembaruan (1957), ejaan Melindo (1959) dan ejaan Baru (1966). Setelah melalui masa-masa kegalauan perencanaan bahasa di era Soekarno, masalah-masalah ini dirampungkan hingga akhirnya Soeharto meresmikan EyD pada perayaan kemerdekaan Indonesia, tahun 1972 lalu.


sumber :  https://www.zenius.net/blog/9959/sejarah-eyd-ejaan-bahasa-indonesia 

No comments:

Post a Comment