Tuesday, October 4, 2016

Artikel Bahasa Daerah



Pemertahanan Bahasa Daerah Melalui Penggunaan Bahasa Daerah dalam Karya Sastra
1.      Pendahuluan
Bahasa merupakan alat utama bagi pengarang untuk mengekspresikan pengamatannya terhadap kehidupan dalam bentuk karya seni (sastra). Ragam bahasa yang digunakan pengarang itu memerlukan proses panjang.  Untuk merealisasikan gagasan, pikiran, dan perasaannya bahasa diolah dan disajikannya sedemikian rupa melalui proses kreatif hingga tercipta karya sastra yang imajinatif dengan unsur estetis yang dominan. Ragam bahasa dalam karya sastra tidak dapat disamakan dengan ragam bahasa nonkarya sastra, seperti  bahasa dalam karya ilmiah, surat kabar, atau perundang-undangan. Ragam bahasa dalam karya sastra dikenal penuh dengan asosiasi, irasional, dan ekspresif untuk menunjukkan sikap pengarangnya sehingga menimbulkan efek tetentu bagi pembaca, seperti memengaruhi, membujuk, dan mengubah sikap pembacanya  (Wellek dan Warren, 1990:15).
Begitu pentingnya bahasa dalam proses kreatif Damono (1980:57) mengatakan bahwa sastra adalah dunia kata. Artinya, tokoh cerita ditampilkan melalui kata, peristiwa terangkai dengan kata, waktu dan tempat terjadinya juga oleh kata. Sebutan kata, memurut Damono, dapat dimaknai bahasa meskipun kata merupakan unsur bahasa.  pula, Lotman (dalam Teeuw, 1984:99) juga mengatakan, karena pentingnya peranan bahasa, ia menyebut bahasa sebagai tanda primer. Sebagai tanda primer, bahasa membentuk model dunia bagi penggunanya, yaitu sebagai model yang digunakan untuk menafsirkan segala sesuatu, baik dari dalam maupun dari luar dirinya.
Karya sastra lahir tidak dalam kekosongan budaya (Teeuw, 1984:11—12). Dalam padangan itu dapat dimaknai bahwa karya sastra lahir dalam konteks budaya tertentu dari seorang pengarang. Oleh karen itu, pengarang yang berasal dari Jawa atau Bali, misalnya, akan memengaruhi gaya pengungkapan, antara lain, melalui bahasa yang digunakannya karena sebagai anggota masyarakat tentu sulit terlepas dari nila-nilai yang berlaku dalam masyakat. Karya satra yang mereka ciptakan sedikit banyak mencerminkan gambaran masyarakatnya. Untuk mengungkapkan gagasan, pikiran, dan perasaannya secara leluasa, sering kita temukan pengarang mengekspresikannya dengan bahasa daerahnya. Dengan demikian, kita tidak heran apabila pengarang dalam karyanya menggunaan kata, frasa, dan kalimat bahasa daerah.
2.      Bahasa  Daerah dalam Karya Sastra  Indonesia  Modern
Penggunaan kosakata bahasa daerah dalam karya sastra Indonesia modern bukan merupakan hal yang baru. Bahasa daerah telah lama digunakan oleh banyak pengarang Indonesia, baik dalam karya fiksi maupun puisi. Ada pengarang yang hanya menyelipkan beberapa kosakata bahasa daerah dalam karyanya, tetapi ada juga yang secara sadar menggunakan kosakata bahasa daerah untuk menarik perhatian pembaca dan pengamat sastra. Misalnya, Achdiat K. Mihardja dalam Atheis menggunkan kosakata daerah (Jawa),  alon-alon, cangkolan, dan ngelamun, Chairil Anwar dalam sajak “Cerita Buat Dien Tamaela” menggunakan kosakata (Maluku): beta dan tifa; Bokor Hutasuhut dalam novel Penakluk Ujung Dunia menggunakan kosakata (Batak):  ampangngardang, ampataga, martandang, margondang, dan parhitean; Korrie Layun Rampan dalam novel Upacara menggunakan kosakata bahasa Dayak Iban. Linus Suryadi dalam karya prosa liriknya,  Pengakuan Pariyem, menggunakan kosakata bahasa Jawa yang begitu dominan sehingga ada yang menyebunya sebagai centini (karya sastra Jawa).
Dengan memahami hal itu, bahasa daerah memang diperlukan untuk mengekspresikan budayanya. Hal itu sekaligus juga menunjukkan bahwa bahasa Indonesia sebagai sarana ekspresi memiliki keterbatasan karena ada semacam kesukaran menerjemahkan kosakata bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia. Kalaupun ada kata  daerah yang diterjemahkan, kata itu akan kehilangan maknanya atau ekspresinya karena suatu kata dipilih pengarang terkadang mengandung makna simbolis.
      Pandangan tersebut dapat dibenarkan karena bahasa daerah yang sering digunakan pengarang mengandung penekanan nonkebahasaan, seperti unsur budaya yang ditonjolkan. Dengan memfokuskan budaya tertentu, makna penggunaan bahasa daerah tidak sekadar bunyi bahasa dan untuk berkomunikasi, tetapi di dalamnya tertuang nilai  budaya  daerah. 
3.      Pemertahanan Bahasa Daerah Melalui  Karya Sastra 
Dalam era Globalisasi keberadaan bahasa daerah menghadapi situasi yang mengkhawatirkan. Bahasa daerah mulai ditinggalkan penuturnya dalam pergaulan atau kegiatan antarmanusia karena dominannya bahasa asing yang menguasai berbagai bidang. Keadaan itu banyak dirasakan oleh pengguna bahasa daerah yang, antara lain, menyadari bahwa bahasa daerahnya kehilangan otoritas publiknya dan menjadi teks yang terkesan eksklusif.      
            Bahasa  Jawa, misalnya, merupakan bahasa yang jumlah penuturnya paling banyak karena termasuk kelompok delapan besar yang dikelompokkan sebagai bahasa yang jumlah penuturnya 2.000.000 orang atau lebih dan  di antara kelompok itu bahasa Jawa berada pada peringkat paling atas, yang kemudian diikuti oleh bahasa Sunda, bahasa Madura, bahasa Minangkabau, bahasa Bugis, bahasa Batak, bahasa Banjar, dan bahasa Bali (Alwi, 2001:43).  Sampai saat ini bahasa Jawa juga masih digunakan secara lisan dan tulis.  Namun, hal itu tidak berarti bahwa bahasa Jawa jauh dari ancaman kepunahan.  Keadaan dan masalah yang dihadapi bahasa Jawa banyak diungkapkan dalam tulisan dan diskusi yang bersifat keluhan. Seperti dikemukakan oleh Rahardi,  bahasa Jawa kini menempati posisi pinggiran dan hanya digunakan orang tua. Di Daerah Istimewa Yogyakarta yang sebagian besar masyarakatnya pengguna bahasa Jawa terasa bersikap membiarkan merana. Adanya tulisan Jawa  yang terpampang untuk nama jalan hanya dapat dibaca oleh orang tua. Ia juga menyebutkan bahwa kepunahan bahasa Jawa mencapai 4,1 persen
 Keadaan itu merupakan salah satu contoh permasalahan bahasa  daerah. Tidak dapat dipungkiri hal itu pasti juga terjadi pada bahasa daerah lain yang ada di Indonesia. Dalam hal itu, Pemerintah tidak berdiam diri.  Berbagai kebijakan Pemerintah dilakukan untuk mengatasi masalah bahasa daerah, seperti  Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, mengatur pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan pembagian kewenangan, pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia merupakan kewenangan pemerintah pusat, sedangkan pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra daerah termasuk ke dalam kewenangan pemerintah daerah.  Kebijakan lain  mengenai bahasa dan sastra daerah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang  Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan,  Pasal 37 ayat 2, Pasal 38 ayat 2, Pasal 39 ayat 2, dan Pasal 41 ayat 1. Dengan adanya berbagai kebijakan tersebut, berarti masyarakat cukup leluasa untuk melakukan upaya pemertahanan bahasa daerahnya.  Pemertahanan bahasa sangat penting karena dapat mewujudkan diversitas kultural, memelihara identitas etnis, menjaga adaptabilitas sosial, dan meningkatkan kepekaan lingusitis (Crystal, 2000).
            Pemertahanan bahasa daerah dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti digunakannya bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pendidikan dan digunakannya bahasa daerah sebagai mata pelajaran tingkat sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas.  Bahkan, ada pemerintah daerah yang memberlakukan penggunaan bahasa daearah (Jawa) bagi karyawan pemerintah daerah pada hari tertentu  juga merupakan upaya pemertahanan bahasa daerah.
4.      Simpulan
Pengarang menampilkan bahasa daerah dalam karya sastra karena ada sesuatu yang ingin disampaikan, misalnya karena pengarang ingin mengangkat budaya lokal sebagai temanya. Penggunaan bahasa daerah dalam karya tersebut merupakan salah satu upaya mempertahankan bahasa daerah dari kepunahan. Nilai budaya yang diekspresikan melalui bahasa dan berbagai persitiwa merupakan dokumentsai budaya daerah yang dapat dijadikan rujukan dalam bahan ajar bahasa dan pengajaran sastra bagi peserta didik.






Ulasan mengenai artikel diatas
               Bahasa merupakan suatu alat untuk berkomunikasi antar sesama individu atau kelompok (orang), dengan menggunakan bahasa yang keduanya dapat saling memahami maka komunikasi pun akan berjalan dengan baik, bahasa juga merupakan bentuk model dunia bagi penggunanya, yaitu sebagai model yang digunakan untuk menafsirkan segala sesuatu, baik dari dalam maupun dari luar dirinya.Dalam berkomunikasi contohnya antara pedagang dan pembeli, apabila mereka tidak menggukan bahasa yang saling dimengerti maka sistem transaksi jual bali tidak akan berlangsung.
               Di era globalisasi ini para orang tua terutama yang pernah tinggal atau menempuh pendidikan di kota, telah menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa asing kepada anak-anak mereka. Pilihan ini menyebabkan para anak-anak lebih menguasai Bahasa Indonesia atau Bahasa asing daripada bahasa daerahnya dan juga bahasa sukunya. Bahkan menjadi suatu kebanggaan pada diri orang tua karena merasa hebat dan modern, ketika anaknya menguasai Bahasa Indonesia atau Bahasa asing tersebut. Tetapi di samping itu, justru anak-anaknya tidak mengusai Bahasa daerahnya dan bahasa sukunya.
               Maka dari itu kita pun tentu tidak ingin kehilangan begitu banyak kekayaan budaya bangsa terutama dalam bahasa. Bahasa daerah harus tetap lestari menjadi bahasa yang dikuasai, selain Bahasa Indonesia dan bahasa lainnya. Untuk itu, sangat diperlukan komitmen kuat dari pemerintah. Salah satu cara melestarikan bahasa daerah adalah, misalnya, dengan memasukkan bahasa daerah ke dalam kurikulum pendidikan. Tidak hanya di tingkat pendidikan Sekolah Dasar, namun juga tingkat pendidikan di atasnya. Guru yang mengampu mata pelajaran ini juga harus benar-benar kompeten di bidangnya. Sehingga, kelestarian bahasa daerah tetap terjaga.

No comments:

Post a Comment