Pemertahanan Bahasa Daerah Melalui Penggunaan Bahasa Daerah dalam Karya
Sastra
1.
Pendahuluan
Bahasa merupakan alat utama bagi pengarang untuk mengekspresikan
pengamatannya terhadap kehidupan dalam bentuk karya seni (sastra). Ragam bahasa
yang digunakan pengarang itu memerlukan proses panjang. Untuk
merealisasikan gagasan, pikiran, dan perasaannya bahasa diolah dan disajikannya
sedemikian rupa melalui proses kreatif hingga tercipta karya sastra yang
imajinatif dengan unsur estetis yang dominan. Ragam bahasa dalam karya sastra
tidak dapat disamakan dengan ragam bahasa nonkarya sastra, seperti bahasa
dalam karya ilmiah, surat kabar, atau perundang-undangan. Ragam bahasa dalam
karya sastra dikenal penuh dengan asosiasi, irasional, dan ekspresif untuk
menunjukkan sikap pengarangnya sehingga menimbulkan efek tetentu bagi pembaca,
seperti memengaruhi, membujuk, dan mengubah sikap pembacanya (Wellek dan
Warren, 1990:15).
Begitu pentingnya bahasa dalam proses kreatif Damono (1980:57) mengatakan
bahwa sastra adalah dunia kata. Artinya, tokoh cerita ditampilkan melalui kata,
peristiwa terangkai dengan kata, waktu dan tempat terjadinya juga oleh kata.
Sebutan kata, memurut Damono, dapat dimaknai bahasa meskipun kata merupakan
unsur bahasa. pula, Lotman (dalam Teeuw, 1984:99) juga mengatakan, karena
pentingnya peranan bahasa, ia menyebut bahasa sebagai tanda primer. Sebagai
tanda primer, bahasa membentuk model dunia bagi penggunanya, yaitu sebagai
model yang digunakan untuk menafsirkan segala sesuatu, baik dari dalam maupun
dari luar dirinya.
Karya sastra lahir tidak dalam kekosongan budaya (Teeuw, 1984:11—12).
Dalam padangan itu dapat dimaknai bahwa karya sastra lahir dalam konteks budaya
tertentu dari seorang pengarang. Oleh karen itu, pengarang yang berasal dari
Jawa atau Bali, misalnya, akan memengaruhi gaya pengungkapan, antara lain,
melalui bahasa yang digunakannya karena sebagai anggota masyarakat tentu sulit
terlepas dari nila-nilai yang berlaku dalam masyakat. Karya satra yang mereka
ciptakan sedikit banyak mencerminkan gambaran masyarakatnya. Untuk
mengungkapkan gagasan, pikiran, dan perasaannya secara leluasa, sering kita
temukan pengarang mengekspresikannya dengan bahasa daerahnya. Dengan demikian,
kita tidak heran apabila pengarang dalam karyanya menggunaan kata, frasa, dan
kalimat bahasa daerah.
2.
Bahasa Daerah dalam Karya Sastra
Indonesia Modern
Penggunaan kosakata bahasa daerah dalam karya sastra Indonesia modern
bukan merupakan hal yang baru. Bahasa daerah telah lama digunakan oleh banyak
pengarang Indonesia, baik dalam karya fiksi maupun puisi. Ada pengarang yang
hanya menyelipkan beberapa kosakata bahasa daerah dalam karyanya, tetapi ada
juga yang secara sadar menggunakan kosakata bahasa daerah untuk menarik
perhatian pembaca dan pengamat sastra. Misalnya, Achdiat K. Mihardja dalam Atheis
menggunkan kosakata daerah (Jawa), alon-alon, cangkolan, dan ngelamun,
Chairil Anwar dalam sajak “Cerita Buat Dien Tamaela” menggunakan kosakata
(Maluku): beta dan tifa; Bokor Hutasuhut dalam novel Penakluk
Ujung Dunia menggunakan kosakata (Batak): ampangngardang,
ampataga, martandang, margondang, dan parhitean; Korrie Layun
Rampan dalam novel Upacara menggunakan kosakata bahasa Dayak Iban.
Linus Suryadi dalam karya prosa liriknya, Pengakuan Pariyem, menggunakan
kosakata bahasa Jawa yang begitu dominan sehingga ada yang menyebunya sebagai
centini (karya sastra Jawa).
Dengan memahami hal itu, bahasa daerah memang diperlukan untuk
mengekspresikan budayanya. Hal itu sekaligus juga menunjukkan bahwa bahasa
Indonesia sebagai sarana ekspresi memiliki keterbatasan karena ada semacam
kesukaran menerjemahkan kosakata bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia.
Kalaupun ada kata daerah yang diterjemahkan, kata itu akan kehilangan
maknanya atau ekspresinya karena suatu kata dipilih pengarang terkadang
mengandung makna simbolis.
Pandangan tersebut dapat dibenarkan karena bahasa daerah yang sering digunakan
pengarang mengandung penekanan nonkebahasaan, seperti unsur budaya yang
ditonjolkan. Dengan memfokuskan budaya tertentu, makna penggunaan bahasa daerah
tidak sekadar bunyi bahasa dan untuk berkomunikasi, tetapi di dalamnya tertuang
nilai budaya daerah.
3.
Pemertahanan Bahasa Daerah Melalui Karya
Sastra
Dalam era Globalisasi keberadaan bahasa daerah menghadapi situasi yang
mengkhawatirkan. Bahasa daerah mulai ditinggalkan penuturnya dalam pergaulan
atau kegiatan antarmanusia karena dominannya bahasa asing yang menguasai
berbagai bidang. Keadaan itu banyak dirasakan oleh pengguna bahasa daerah yang,
antara lain, menyadari bahwa bahasa daerahnya kehilangan otoritas publiknya dan
menjadi teks yang terkesan eksklusif.
Bahasa Jawa, misalnya, merupakan bahasa yang jumlah penuturnya paling
banyak karena termasuk kelompok delapan besar yang dikelompokkan sebagai bahasa
yang jumlah penuturnya 2.000.000 orang atau lebih dan di antara kelompok
itu bahasa Jawa berada pada peringkat paling atas, yang kemudian diikuti oleh
bahasa Sunda, bahasa Madura, bahasa Minangkabau, bahasa Bugis, bahasa Batak,
bahasa Banjar, dan bahasa Bali (Alwi, 2001:43). Sampai saat ini bahasa
Jawa juga masih digunakan secara lisan dan tulis. Namun, hal itu tidak
berarti bahwa bahasa Jawa jauh dari ancaman kepunahan. Keadaan dan
masalah yang dihadapi bahasa Jawa banyak diungkapkan dalam tulisan dan diskusi
yang bersifat keluhan. Seperti dikemukakan oleh Rahardi, bahasa Jawa kini
menempati posisi pinggiran dan hanya digunakan orang tua. Di Daerah Istimewa
Yogyakarta yang sebagian besar masyarakatnya pengguna bahasa Jawa terasa
bersikap membiarkan merana. Adanya tulisan Jawa yang terpampang untuk
nama jalan hanya dapat dibaca oleh orang tua. Ia juga menyebutkan bahwa
kepunahan bahasa Jawa mencapai 4,1 persen
Keadaan itu merupakan salah satu
contoh permasalahan bahasa daerah. Tidak dapat dipungkiri hal itu pasti
juga terjadi pada bahasa daerah lain yang ada di Indonesia. Dalam hal itu, Pemerintah
tidak berdiam diri. Berbagai kebijakan Pemerintah dilakukan untuk
mengatasi masalah bahasa daerah, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 25
Tahun 2000, mengatur pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Berdasarkan pembagian kewenangan, pembinaan dan pengembangan
bahasa dan sastra Indonesia merupakan kewenangan pemerintah pusat, sedangkan
pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra daerah termasuk ke dalam
kewenangan pemerintah daerah. Kebijakan lain mengenai bahasa dan sastra
daerah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, Pasal 37 ayat
2, Pasal 38 ayat 2, Pasal 39 ayat 2, dan Pasal 41 ayat 1. Dengan adanya
berbagai kebijakan tersebut, berarti masyarakat cukup leluasa untuk melakukan
upaya pemertahanan bahasa daerahnya. Pemertahanan bahasa sangat penting
karena dapat mewujudkan diversitas kultural, memelihara identitas etnis,
menjaga adaptabilitas sosial, dan meningkatkan kepekaan lingusitis (Crystal,
2000).
Pemertahanan bahasa daerah dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti
digunakannya bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pendidikan dan digunakannya
bahasa daerah sebagai mata pelajaran tingkat sekolah dasar sampai dengan sekolah
menengah atas. Bahkan, ada pemerintah daerah yang memberlakukan
penggunaan bahasa daearah (Jawa) bagi karyawan pemerintah daerah pada hari
tertentu juga merupakan upaya pemertahanan bahasa daerah.
4.
Simpulan
Pengarang menampilkan bahasa daerah dalam karya sastra karena ada sesuatu
yang ingin disampaikan, misalnya karena pengarang ingin mengangkat budaya lokal
sebagai temanya. Penggunaan bahasa daerah dalam karya tersebut merupakan salah
satu upaya mempertahankan bahasa daerah dari kepunahan. Nilai budaya yang
diekspresikan melalui bahasa dan berbagai persitiwa merupakan dokumentsai
budaya daerah yang dapat dijadikan rujukan dalam bahan ajar bahasa dan
pengajaran sastra bagi peserta didik.
Ulasan mengenai
artikel diatas
Bahasa merupakan suatu alat untuk
berkomunikasi antar sesama individu atau kelompok (orang), dengan menggunakan
bahasa yang keduanya dapat saling memahami maka komunikasi pun akan berjalan
dengan baik, bahasa juga merupakan bentuk model dunia bagi penggunanya, yaitu
sebagai model yang digunakan untuk menafsirkan segala sesuatu, baik dari dalam
maupun dari luar dirinya.Dalam berkomunikasi contohnya antara pedagang dan
pembeli, apabila mereka tidak menggukan bahasa yang saling dimengerti maka
sistem transaksi jual bali tidak akan berlangsung.
Di era globalisasi ini para orang tua
terutama yang pernah tinggal atau menempuh pendidikan di kota, telah
menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa asing kepada anak-anak mereka. Pilihan
ini menyebabkan para anak-anak lebih menguasai Bahasa Indonesia atau Bahasa
asing daripada bahasa daerahnya dan juga bahasa sukunya. Bahkan menjadi suatu
kebanggaan pada diri orang tua karena merasa hebat dan modern, ketika anaknya
menguasai Bahasa Indonesia atau Bahasa asing tersebut. Tetapi di samping itu,
justru anak-anaknya tidak mengusai Bahasa daerahnya dan bahasa sukunya.
Maka
dari itu kita pun tentu tidak ingin kehilangan begitu banyak kekayaan
budaya bangsa terutama dalam bahasa. Bahasa daerah harus tetap lestari menjadi
bahasa yang dikuasai, selain Bahasa Indonesia dan bahasa lainnya. Untuk itu,
sangat diperlukan komitmen kuat dari pemerintah. Salah satu cara melestarikan
bahasa daerah adalah, misalnya, dengan memasukkan bahasa daerah ke dalam kurikulum
pendidikan. Tidak hanya di tingkat pendidikan Sekolah Dasar, namun juga tingkat
pendidikan di atasnya. Guru yang mengampu mata pelajaran ini juga harus
benar-benar kompeten di bidangnya. Sehingga, kelestarian bahasa daerah tetap
terjaga.
No comments:
Post a Comment