Selain agama yang dijadikan pandangan hidup, orang Sunda juga mempunyai
pandangan hidup yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Pandangan hidup
tersebut tidak bertentangan dengan agama yang dianutnya karena secara
tersurat dan tersirat dikandung juga dalam ajaran agamanya, khususnya
ajaran agama Islam. Pandangan hidup orang Sunda yang diwariskan dari
nenek moyangnya dapat diamati pada ungkapan tradisional sebagai berikut:
"Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke, aya ma
beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna. Hana
tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang. Hana ma tunggulna
aya tu catangna."
Artinya: Ada dahulu ada sekarang, bila tak ada dahulu tak akan
ada sekarang, karena ada masa silam maka ada masa kini, bila tak ada
masa silam takan ada masa kini. Ada tunggak tentu ada batang, bila tak
ada tunggak tak akan ada batang, bila ada tunggulnya tentu ada
batangnya.
Ungkapan tradisional tersebut tidak jauh dengan amanat Bung Karno dalam
pidato HUT Proklamasi 1996: “Janganlah melihat ke masa depan dengan
mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca
bengala dari pada masa yang akan datang.”
Hubungan antara sesama manusia
Hubungan antara manusia dengan sesama manusia dalam masyarakat Sunda pada dasarnya harus dilandasi oleh sikap“silih asih, silih asah, dan silih asuh”,
artinya harus saling mengasihi, saling mengasah atau mengajari, dan
saling mengasuh sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang
diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan,
seperti tampak pada ungkapan-ungkapan berikut ini:
- Kawas gula eujeung peueut yang artinya hidup harus rukun saling menyayangi, tidak pernah berselisih.
- Mulah marebutkeun balung tanpa eusi yang artinya jangan memperebutkan perkara yang tidak ada gunanya.
- Mulah ngaliarkeun taleus ateul yang artinya jangan menyebarkan perkara yang dapat menimbulkan keburukan atau keresahan.
- Mulah nyolok panon buncelik yang artinya jangan berbuat sesuatu di hadapan orang lain dengan maksud mempermalukan.
- Buruk-buruk papan jati yang artinya berapapun besar kesalahan saudara atau sahabat, mereka tetap saudara kita, orang tua tentu dapat mengampuninya.
Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya
Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, menurut pandangan
hidup orang Sunda, hendaknya didasari oleh sikap yang menjunjung tinggi
hukum, membela negara, dan menyuarakan hati nurani rakyat. Pada
dasarnya, tujuan hukum yang berupa hasrat untuk mengembalikan rasa
keadilan, yang bersifat menjaga keadaan, dan menjaga solidaritas sosial
dalam masyarakat. Masalah ini dalam masyarakat Sunda terpancar dalam
ungkapan-ungkapan:
- Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balareya (harus menjunjung tinggi hukum, berpijak kepada ketentuan negara, dan bermupakat kepada kehendak rakyat.
- Bengkung ngariung bongkok ngaronyok (bersama-sama dalam suka dan duka).
- Nyuhunkeun bobot pangayon timbang taraju (memohon pertimbangan dan kebijaksanaan yang seadil-adilnya, memohon ampun)
sumber : http://budaya-indonesia.org/Filosofi-Sunda/
No comments:
Post a Comment